Kamis, 24 Oktober 2013

kumpulan spesifikasi 5 hewan

1Anoa 
satwa endemik pulau Sulawesi, Indonesia. Anoa juga menjadi fauna identitas provinsi Sulawesi Tenggara. Satwa langka dan dilindungi ini terdiri atas dua spesies (jenis) yaitu: anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) dan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis). Kedua satwa ini tinggal dalam hutan yang jarang dijamah manusia. Kedua spesies anoa tersebut hanya dapat ditemukan di Sulawesi, Indonesia. Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih bertahan hidup. Anoa sering diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan dagingnya.
Baik Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) maupun Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) sejak tahun 1986 oleh IUCN Redlist dikategorikan dalam binatang denganstatus konservasi “Terancam Punah” (Endangered; EN) atau tiga tingkat di bawah status “Punah”.
Secara umum, anoa mempunyai warna kulit mirip kerbau, tanduknya lurus ke belakang serta meruncing dan agak memipih. Hidupnya berpindah-pindah tempat dan apabila menjumpai musuhnya anoa akan mempertahankan diri dengan mencebur ke rawa-rawa atau apabila terpaksa akan melawan dengan menggunakan tanduknya.
Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) sering disebut sebagai Kerbau kecil, karena Anoa memang mirip kerbau, tetapi pendek serta lebih kecil ukurannya, kira-kira sebesar kambing. Spesies bernama latin Bubalus depressicornis ini disebut sebagai Lowland Anoa, Anoa de Ilanura, atau Anoa des Plaines. Anoa yang menjadi fauna identitasprovinsi Sulawesi tenggara ini lebih sulit ditemukan dibandingkan anoa pegunungan.
http://alamendah.files.wordpress.com/2010/04/anoa-dataran-rendah.jpg?w=400&h=350
Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis)
Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih gemuk dibandingkan saudara dekatnya anoa pegunungan (Bubalus quarlesi). Panjang tubuhnya sekitar 150 cm dengan tinggi sekitar 85 cm. Tanduk anoa dataran rendah panjangnya 40 cm. Sedangkan berat tubuh anoa dataran rendah mencapai 300 kg.
Anoa dataran rendah dapat hidup hingga mencapai usia 30 tahun yang matang secara seksual pada umur 2-3 tahun. Anoa betina melahirkan satu bayi dalam setiap masa kehamilan. Masa kehamilannya sendiri sekitar 9-10 bulan. Anak anoa akan mengikuti induknya hingga berusia dewasa meskipun telah disapih saat umur 9-10 bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama dengan 2 anak anoa yang berbeda usia.
Anoa dataran rendah hidup dihabitat mulai dari hutan pantai sampai dengan hutan dataran tinggi dengan ketinggian 1000 mdpl. Anoa menyukai daerah hutan ditepi sungai atau danau mengingat satwa langka yang dilindungi ini selain membutuhkan air untuk minum juga gemar berendam ketika sinar matahari menyengat.
Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) sering disebut juga sebagai Mountain Anoa, Anoa de montagne, Anoa de Quarle, Berganoa, dan Anoa de montaƱa. Dalam bahasa latin anoa pegunungan disebut Bubalus quarlesi.
http://alamendah.files.wordpress.com/2009/07/anoa-quarlesi.jpg?w=400&h=341
Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi)
Anoa pegunungan mempunyai ukuran tubuh yang lebih ramping dibandingkan anoa datarn rendah. Panjang tubuhnya sekitar 122-153 cm dengan tinggi sekitar 75 cm. Panjang tanduk anoa pegunungan sekitar 27 cm dengan berat tubuh dewasa sekitar 150 kg. Anoa pegunungan berusia antara 20-25 tahun yang matang secara seksual saat berusia 2-3 tahun. Seperti anoa dataran rendah, anoa ini hanya melahirkan satu bayi dalam setiap masa kehamilan yang berkisar 9-10 bulan. Anak anoa akan mengikuti induknya hingga berusia dewasa meskipun telah disapih saat umur 9-10 bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama dengan 2 anak anoa yang berbeda usia.
Anoa pegunungan berhabitat di hutan dataran tinggi hingga mencapai ketinggian 3000 mdpl meskipun terkadang anoa jenis ini terlihat turun ke pantai untuk mencari garam mineral yang diperlukan dalam proses metabolismenya.
Anoa pegunungan cenderung lebih aktif pada pagi hari, dan beristirahat saat tengah hari. Anoa sering berlindung di bawah pohon-pohon besar, di bawah batu menjorok, dan dalam ruang di bawah akar pohon atau berkubang di lumpur dan kolam. Tanduk anoa digunakan untuk menyibak semak-semak atau menggali tanah Benjolan permukaan depan tanduk digunakan untuk menunjukkan dominasi, sedangkan pada saat perkelahian, bagian ujung yang tajam menusuk ke atas digunakan dalam upaya untuk melukai lawan. Ketika bersemangat, anoa pegunungan mengeluarkan suara “moo”.
Populasi dan Konservasi. Anoa semakin hari semakin langka dan sulit ditemukan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) yang menjadi maskot provinsi Sulawesi Tenggara tidak pernah terlihat lagi. Karena itu sejak tahun 1986, IUCN Redlist memasukkan kedua jenis anoa ini dalam status konservasi “endangered” (Terancam Punah).
Selain itu CITES juga memasukkan kedua satwa langka ini dalam Apendiks I yang berarti tidak boleh diperjual belikan. Pemerintah Indonesia juga memasukkan anoa sebagai salah satu satwa yang dilindungi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Beberapa daerah yang masih terdapat satwa langka yang dilindungi ini antaranya adalah Cagar Alam Gunung Lambusango, Taman Nasional Lore-Lindu dan TN Rawa Aopa Watumohai (beberapa pihak menduga sudah punah).
Anoa sebenarnya tida mempunyai musuh (predator) alami. Ancaman kepunahan satwa endemik Sulawesi ini lebih disebabkan oleh deforestasi hutan (pembukaan lahan pertanian dan pemukiman) dan perburuan yang dilakukan manusia untuk mengambil daging, kulit, dan tanduknya.
Pada tahun 2000, masyarakat Kabupaten Buton dan Konawe Selatan dibantu pihak BKSDA pernah mencoba untuk membuka penangkaran anoa. Tetapi usaha ini akhirnya gagal lantaran perilaku anoa yang cenderung tertutup dan mudah merasa terganggu oleh kehadiran manusia sehingga dari beberapa spesies yang ditangkarkan tidak satupun yang berhasil dikawinkan.
Tahun 2010 ini, Taman Nasional Lore-Lindu akan mencoba melakukan penangkaran satwa langka yang dilindungi ini. Semoga niat baik ini dapat terlaksana sehingga anoa datarn rendah (Bubalus depressicornis) dan Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) dapat lestari dan menjadi kebanggan seluruh bangsa Indonesia seperti halnya Panser Anoa buatan Pindad.
Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Mamalia, Ordo: Artiodactyla, Famili: Bovidae, Upafamili: Bovinae, Genus: Bubalus, Spesies: Bubalus quarlesi, Bubalus depressicornis. Nama binomial: Bubalus quarlesi (Ouwens, 1910). Bubalus depressicornis (H. Smith, 1827).

2. Bajing

Bajing berbeda dengan Tupai. Bajing memiliki moncong yang tidak terlalu panjang seperti halnya tupai, bagian muka (mulut dan hidung) relatif agak rata atau datar.
http://alamendah.files.wordpress.com/2010/01/bajing-kelapa.jpg?w=200&h=153
Bajing Kelapa
Bajing ada yang hidup di tanah juga ada yang hidup di pohon. Bahkan bajing dari subspesies Pteromyini mampu terbang (melayang dari atas ke bawah), karena jenis ini mempunyai membran (selaput tipis) diantara kaki depan dan belakang yang memungkinkan melayang jauh diantara pepohonan.
Berbeda dengan Tupai yang memakan serangga, Bajingmerupakan binatang pengerat yang memakan buah-buahan. Sering kali binatang ini dianggap sebagai hama terutama pada tanaman kelapa dan perkebunan buah. Mungkin lantaran dianggap binatang hama dan perusak ini kemudian muncul istilah ‘bajingan’.
Bajing terdiri atas 51 genus dan 278 spesies (jenis). Beberapa jenis Bajing yang terdapat di Indonesia antara lain:
§  Ratufa bicolor (Jelarang); Hutan tropis dan subtropis di Asia termasuk Indonesia.
§  Callosciurrus prevostii (Bajing Tiga Warna); Kalimantan
§  Callosciurrus nigrovittatus (Bajing Hitam); Thailand, Semenajung Malaya, Sumatra dan Jawa.
§  Callosciurrus notatus (Bajing Kelapa); terdapat di Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali dan Lombok, serta pulau-pulau di sekitarnya
§  Callosciurrus adamsi (Bajing Telinga Botol); Endemik Kalimantan
§  Callosciurrus orestes (Bajing Kelabu); terdapat di Kalimantan
§  Sundasciurus hippurus (Bajing Ekor Kuda): Kalimantan
§  Sundasciurus lowii (Bajing Ekor Pendek): Kalimantan
§  Sundasciurus tenuis (Bajing Bancirot); Kalimantan
§  Sundasciurus jentinki (Bajing Jentink); Kalimantan
§  Sundasciurus brookei (Bajing Brooke); Kalimantan
§  Sundasciurus juvencus (Bajing Palawan); Jawa dan Bali
§  Glyphotes simus (Bajing Kerdil Perut Merah); Endemik Kalimantan
§  Nannosciurus melanotis (Bajing Kerdil Telingan Hitam); Jawa dan Kalimantan
§  Rubrisciurus rubriventer (Bajing Besar Sulawesi); Endemik Sulawesi
§  Petinomys hageni (Bajing Terbang Kepala Tengguli): Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan
§  Petinomys genibarbis (Bajing Terbang Berjambang): Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan
§  Petinomys setosus (Bajing Terbang Dada Putih): Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan
§  Petinomys vordermanni (Bajing Terbang Pipi Jingga); Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan
§  Petinomys sagitta (Bajing Terbang Jawa); Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan
§  Lariscus insignis (Bajing Tanah Bergaris Tiga); Kalimantan
§  Dremomys everetii (Bajing Gunung); Kalimantan
§  Rhinosciurus laticaudatus (Bajing Tanah Moncong Runcing); Kalimantan
§  Exilisciurus exilis (Bajing Kerdil Dataran Rendah); Kalimantan
§  Exilisciurus whiteheady (Bajing Kerdil Telinga Kuncung): Kalimantan
§  Rheithrosciurus macrotis (Bajing Tanah Ekor Tegak)
§  Petaurillus hosei (Bajing Terbang Hose)
§  Lomys horsfield (Bajing Terbang Ekor Merah)
§  Aeromys tephromelas (Bajing Terbang Hitam)
§  Hylopetes lepidus (Bajing Terbang Pipi Kelabu)
§  Pteromyscus pulverulentus (Bajing Terbang Berbedak)
§  Petaurista petaurista (Bajing Terbang Rakasasa Merah)
Sebenarnya masih banyak jenis Bajing lainnya di Indonesia, namun sebagai gambaran hanya ini yang saya sampaikan.
Klasifikasi Ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Sub Filum: Vertebrata; Kelas: Mamalia; Ordo: Rodentia: Famili: Sciuridae

3. Bajing dan Tupai Adalah Berbeda

Posted on by alamendah
Bajing dan Tupai adalah hewan yang berbeda, meskipun banyak orang yang menganggapnya sebagai binatang yang sama. Bajing dan Tupai memiliki perbedaan, Tupai sepintas mirip dengan bajing, tetapi berbeda anatomi dan perilakunya. Tupai mempunyai moncong sangat panjang (bagian muka, mulut dan hidung) sedangkan bajing relatif agak rata pada bagian mulut dan hidungnya.
Bajing merupakan mamalia pengerat (ordo Rodentia) dari suku (famili) Sciuridae yang dalam bahasa Inggris disebut squirrel. Sedangkan Tupai berasal dari famili Tupaiidae dan Ptilocercidae yang dalam bahasa Inggris disebut treeshrew. Secara ilmiah (ilmu biologi), Bajing berbeda dengan Tupai, bahkan sangat jauh kekerabatannya.
Dalam hal makanannya pun berbeda. Bajing merupakan binatang pengerat yang memakan buah-buahan sedangkan Tupai merupakan binatang pemakan serangga.

Tupai

Tupai berbeda dengan Bajing. Tupai merupakan mamalia kecil dari bangsa Scandentia yang sering kali dikelirukan dengan Bajing. Tupai banyak memangsa serangga, sehingga dahulu dimasukkan ke dalam bangsa (ordo) Insectivora (pemakan serangga). Ciri khas Tupai adalah mempunyai moncong sangat panjang pada bagian muka yang terdapat mulut dan hidung.
http://alamendah.files.wordpress.com/2010/01/tupaia-javanica-tupai-kekes.jpg?w=167&h=200
Tupai Kekes
Tupai merupakan anggota dari bangsa Scandentia yang terdiri atas dua suku (famili) yaitu Tupaiidae dan Ptilocercidae. Indonesia memiliki jenis Tupai terbesar di dunia. Dari 20 spesies Tupai yang ada di dunia, 12 diantaranya dipunyai oleh Indonesia. Spesies-spesies Tupai di Indonesia tersebut antara lain:
§  Tupai ekor-kecil (Dendrogale melanura). Di Kalimantan
§  Tupai mentawai (Tupaia chrysogaster). Endemik Kepulauan Mentawai.
§  Tupai bergaris (Tupaia dorsalis). Kalimantan
§  Tupai akar (Tupaia glis). Kalimantan, Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya.
§  Tupai ramping (Tupaia gracilis). Kalimantan, Karimata, Bangka dan Belitung.
§  Tupai kekes (Tupaia javanica). Sumatra, Nias, Jawa dan Bali.
§  Tupai kecil (Tupaia minor). Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
§  Tupai gunung (Tupaia montana). Terbatas di pegunungan di Kalimantan bagian utara.
§  Tupai tercat (Tupaia picta). Kalimantan.
§  Tupai indah (Tupaia splendidula). Kalimantan bagian selatan, Karimata, Natuna, dan Pulau Laut.
§  Tupai tanah (Tupaia tana). Sumatra dan Kalimantan.
§  Tupai ekor-sikat (Ptilocercus lowii). Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan dan pulau-pulau di sekitarnya.

Klasifikasi Ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Sub Filum: Vertebrata; Kelas: Mamalia; Ordo: Scandentia: Famili: Tupaiidae dan Ptilocercidae.

4. Banteng (Bos javanicus) Semakin Terancam

Posted on by alamendah
Banteng Liar atau biasa disebut dengan Banteng saja merupakan hewan mamalia yang berkerabat dengan sapi. Banteng Jawa (Bos javanicus) merupakan satu dari 5 (lima) spesies Banteng yang ada di dunia (satu spesies telah punah).
Banteng (Bos javanicus) terdiri atas tiga subspesies (sub-jenis) yakni Bos javanicus javanicus (terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia), Bos javanicus lowi (terdapat di Kalimantan) dan Bos javanicus birmanicus (terdapat di Indocina). Banteng merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia. Popolasinya semakin mengalami penurunan. Oleh IUCN Redlist, Banteng dikategorikan dalam status konservasi “Endangered” atau “Terancam Kepunahan”.
Selain Banteng Jawa (Bos javanicus) sedikitnya terdapat 4 spesies Banteng lainnya diseluruh dunia. Satu spesies telah dinyatakan punah. Kelima spesies Banteng tersebut adalah:
§  Bos javanicus (Banteng)
§  Bos gaurus (Indian Bison) yang biasa diadu dengan matador di Spanyol
§  Bos mutus (Wild Yark)
§  Bos souveli (Grey Ox)
§  Bos primigenius (Auroch) yang telah punah
Ciri-ciri dan Perilaku. Banteng (Bos javanicus) mempunyai tinggi sekitar 160 cm dengan panjang antara 190-225 cm. Meskipun beberapa Banteng mampu memiliki berat hingga satu ton namun rata-rata Banteng jantan memiliki berat berkisar antara 600-800 kg. Sedangkan Banteng betina memiliki berat dan ukuran yang lebih kecil. Banteng memiliki sepasang tanduk dikepalanya yang panjangnya berkisar antara 60-75 cm.
banteng (Bos javanicus)
Kawanan Banteng
Kulit kaki bagian bawah, punuk, dan daerah sekitar mata dan mocong Banteng (Bos javanicus) berwarna putih. Pada Banteng berkelamin jantan memiliki kulit berwarna biru kehitam-hitaman atau coklat gelap dengan punuk di bagian pundak dan tanduk yang melenkung ke atas. Sedangkan pada Banteng betina memiliki kulit berwarna coklat kemerahan tanpa punuk dan tanduk yang mengarah ke dalam.
Banteng mampu hidup hingga berumur 20 tahun dengan masa kedewasaan ketika berusia 2-3 tahun. Banteng betina mempunyai lama kehamilan hingga 285 hari dan umumnya hanya melahirkan satu anak saja dalam satu masa kehamilan. Bayi Banteng akan disapih ketika berusia 6-9 bulan.
Banteng hidup secara berkelompok dengan jumlah kawanan antara 2-40 individu dengan satu Banteng jantan. Banteng-banteng jantan muda hidup sendirian atau dalam kelompok-kelompok kecil bujang.
Banteng merupakan binatang herbivora yang memakan rumput, dedaunan, dan buah-buahan. Diperkirakan Banteng sangat menyukai jenis rerumputan dari spesies Ischaemum muticum, Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, dan Cynodon dactylon. Banteng umumnya aktif baik pada siang ataupun malam hari. Namun pada wilayah-wilayah yang dekat dengan pemukiman manusia Banteng cenderung untuk beradaptasi sebagai binatang nokturnal yang aktif pada malam hari.
Habitat dan Persebaran. Banteng mempunyai habitat di daerah berhutan lebat ataupun hutan bersemak mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 2.100 mdpl. Persebarannya mulai dari Kamboja, Indonesia (Jawa, Bali, dan Kalimantan), Laos, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Vietnam. Di beberapa negara seperti Brunei Darussalam, bangladesh, dan India, Banteng dinyatakan telah punah.
Populasi dan Konservasi. Populasi banteng diseluruh dunia diperkirakan tidak lebih dari 8.000 ekor. Bahkan dimungkinkan kurang dari 5.000 ekor. Dalam setiap wilayah (habitat) populasinya jarang yang mampu mencapai lebih dari 500 ekor.
http://alamendah.files.wordpress.com/2010/03/populasi-banteng.png?w=283&h=400
Peta populasi Banteng
Di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) diperkirakan terdapat 300-700 ekor Banteng (tahun 2003), 200 ekor di Taman Nasional Meru Betiri (2000), 200 ekor di Taman Nasional Baluran (2002), 80 ekor di Taman Nasional Alas Purwo (2002). Populasi-populasi yang lebih kecil juga terdapat di beberapa tempat seperti di Cagar Alam Cikepuh-Cibanteng, Pangandaran, Malang, dan Kediri.
Lantaran populasinya yang semakin menurun, sejak tahun 1996, banteng dinyatakan dalam status konservasi “Endangered” (EN; Terancam Punah) oleh IUCN. Banteng sampai saat ini belum terdaftar dalam CITES meskipun sejak 1996 telah diusulkan untuk didaftar dalam CITES Apendiks I.
Penurunan populasi dan kelangkaan Banteng lebih disebabkan oleh perburuan liar dan berkurangnya habitat akibat pembukaan lahan untuk pemukiman dan pertanian. Penurunan populasi juga disebabkan oleh persaingan dengan binatang lainnya dan pemangsaan yang berlebih oleh Ajag (Cuon alpinus).
Data tentang populasi Banteng yang dapat saya hadirkan hanyalah data yang dibuat hampir sepuluh tahun yang silam. Harapan saya hanya satu, banteng-banteng ini masih mampu bertahan hingga selamanya.
Klasifikasi Ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Mammalia; Ordo: Artiodactyla; Famili: Bovidae; Genus: Bos; Spesies: Bos javanicus; Nama binomial Bos javanicus

5. Elang Jawa yang Langka

Posted on by alamendah
ElangJawa (Spizaetus bartelsi)
ElangJawa (Spizaetus bartelsi)
Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah satu spesies elang berukuran sedang yang endemik (spesies asli) di Pulau Jawa. Satwa ini dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda. Dan sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia. Pertama kali sayamenyaksikan penampakan burung Elang Jawa secara langsung pada pertengahan tahun 2005 di sekitar Air Tiga Rasa di Gunung Muria Jawa Tengah. Sayang, sampai sekarang saya belum berkesempatan untuk menyaksikannya untuk yang kedua kali.
Secara fisik, Elang Jawa memiliki jambul menonjol sebanyak 2-4 helai dengan panjang mencapai 12 cm, karena itu Elang Jawa disebut juga Elang Kuncung. Ukuran tubuh dewasa (dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 60-70 sentimeter, berbulu coklat gelap pada punggung dan sayap. Bercoretan coklat gelap pada dada dan bergaris tebal coklat gelap di perut. Ekornya coklat bergaris-garis hitam.
Ketika terbang, Elang Jawa hampir serupa dengan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) bentuk terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil. Bunyi nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara Elang Brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya.
Gambaran lainnya, sorot mata dan penglihatannya sangat tajam, berparuh kokoh, kepakan sayapnya kuat, berdaya jelajah tinggi, dan ketika berdiam diri sosoknya gagah dan berwibawa. Kesan “jantan” itulah yang barangkali mengilhami 12 negara menampilkan sosok burung dalam benderanya. Bersama 19 negara lain, Indonesia bahkan memakai sosoknya sebagai lambang negara dengan burung mitologis garuda
Populasi burung Elang Jawa di alam bebas diperkirakan tinggal 600 ekor. Badan Konservasi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikannya terancam punah. Konvensi Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna yang Terancam Punah memasukkannya dalam Apendiks 1 yang berarti mengatur perdagangannya ekstra ketat. Berdasarkan kriteria keterancaman terbaru dari IUCN, Elang Jawa dimasukan dalam kategori Endangered atau “Genting” (Collar et al., 1994, Shannaz et al., 1995). Melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, Pemerintah RI mengukuhkan Elang Jawa sebagai wakil satwa langka dirgantara.
Elang Jawa Terbang
Elang Jawa terbang
Habitat burung Elang Jawa hanya terbatas di Pulau Jawa, terutama di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan.
Bahkan saat ini, habitat burung ini semakin menyempit akibat minimnya ekosistem hutan akibat perusakan oleh manusia, dampak pemanasan global, dan dampak pestisida. Di Jawa Barat, Elang Jawa hanya terdapat di Gunung Pancar, Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango, Papandayan, Patuha dan Gunung Halimun.
Di Jawa Tengah Elang Jawa terdapat di Gunung Slamet, Gunung Ungaran, Gunung Muria, Gunung Lawu, dan Gunung Merapi, sedangkan di Jawa Timur terdapat di Merubetiri, Baluran, Alas Purwo, Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, dan Wilis.
UPDATE
Nama latin untuk elang jawa kini resminya telah berganti dari Spizaetus bartelsi menjadiNisaetus bartelsi.
Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Aves; Ordo: Falconiformes; Famili: Accipitridae; Genus: Nisaetus; Spesies: Nisaetus bartelsi. Nama latin: Nisaetus bartelsi. Sinonim: Spizaetus bartelsi.