1Anoa
satwa endemik pulau Sulawesi, Indonesia. Anoa juga menjadi fauna
identitas provinsi Sulawesi Tenggara. Satwa langka dan dilindungi ini terdiri atas dua spesies (jenis) yaitu: anoa
pegunungan (Bubalus quarlesi)
dan anoa dataran rendah (Bubalus
depressicornis). Kedua satwa ini tinggal dalam hutan yang jarang
dijamah manusia. Kedua spesies anoa tersebut hanya dapat ditemukan di Sulawesi,
Indonesia. Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih
bertahan hidup. Anoa sering diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan
dagingnya.
Baik
Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi)
maupun Anoa Dataran Rendah (Bubalus
depressicornis) sejak tahun 1986 oleh IUCN Redlist dikategorikan dalam
binatang denganstatus konservasi “Terancam Punah” (Endangered;
EN) atau tiga tingkat di bawah status “Punah”.
Secara umum, anoa mempunyai warna kulit mirip kerbau, tanduknya
lurus ke belakang serta meruncing dan agak memipih. Hidupnya berpindah-pindah
tempat dan apabila menjumpai musuhnya anoa akan mempertahankan diri dengan
mencebur ke rawa-rawa atau apabila terpaksa akan melawan dengan menggunakan
tanduknya.
Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) sering disebut sebagai Kerbau kecil, karena Anoa memang mirip
kerbau, tetapi pendek serta lebih kecil ukurannya, kira-kira sebesar kambing.
Spesies bernama latin Bubalus depressicornis ini disebut sebagai Lowland Anoa, Anoa de Ilanura, atau Anoa des
Plaines. Anoa yang menjadi fauna identitasprovinsi Sulawesi tenggara
ini lebih sulit ditemukan dibandingkan anoa pegunungan.
Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis)
Anoa
dataran rendah (Bubalus depressicornis)
mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih gemuk dibandingkan saudara dekatnya
anoa pegunungan (Bubalus quarlesi).
Panjang tubuhnya sekitar 150 cm dengan tinggi sekitar 85 cm. Tanduk anoa
dataran rendah panjangnya 40 cm. Sedangkan berat tubuh anoa dataran rendah
mencapai 300 kg.
Anoa dataran rendah dapat
hidup hingga mencapai usia 30 tahun yang matang secara seksual pada umur 2-3
tahun. Anoa betina melahirkan satu bayi dalam setiap masa kehamilan. Masa
kehamilannya sendiri sekitar 9-10 bulan. Anak anoa akan mengikuti induknya
hingga berusia dewasa meskipun telah disapih saat umur 9-10 bulan. Sehingga
tidak jarang satu induk terlihat bersama dengan 2 anak anoa yang berbeda usia.
Anoa dataran rendah hidup
dihabitat mulai dari hutan pantai sampai dengan hutan dataran tinggi dengan
ketinggian 1000 mdpl. Anoa menyukai daerah hutan ditepi sungai atau danau
mengingat satwa langka yang dilindungi ini selain membutuhkan air untuk minum
juga gemar berendam ketika sinar matahari menyengat.
Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) sering disebut juga sebagai Mountain Anoa, Anoa de montagne,
Anoa de Quarle, Berganoa, dan Anoa de montaña. Dalam bahasa latin anoa
pegunungan disebut Bubalus quarlesi.
Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi)
Anoa pegunungan mempunyai ukuran tubuh yang lebih ramping
dibandingkan anoa datarn rendah. Panjang tubuhnya sekitar 122-153 cm dengan
tinggi sekitar 75 cm. Panjang tanduk anoa pegunungan sekitar 27 cm dengan berat
tubuh dewasa sekitar 150 kg. Anoa pegunungan berusia antara 20-25 tahun yang
matang secara seksual saat berusia 2-3 tahun. Seperti anoa dataran rendah, anoa
ini hanya melahirkan satu bayi dalam setiap masa kehamilan yang berkisar 9-10
bulan. Anak anoa akan mengikuti induknya hingga berusia dewasa meskipun telah
disapih saat umur 9-10 bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama
dengan 2 anak anoa yang berbeda usia.
Anoa pegunungan berhabitat
di hutan dataran tinggi hingga mencapai ketinggian 3000 mdpl meskipun terkadang
anoa jenis ini terlihat turun ke pantai untuk mencari garam mineral yang
diperlukan dalam proses metabolismenya.
Anoa pegunungan cenderung
lebih aktif pada pagi hari, dan beristirahat saat tengah hari. Anoa sering
berlindung di bawah pohon-pohon besar, di bawah batu menjorok, dan dalam ruang
di bawah akar pohon atau berkubang di lumpur dan kolam. Tanduk anoa digunakan
untuk menyibak semak-semak atau menggali tanah Benjolan permukaan depan tanduk
digunakan untuk menunjukkan dominasi, sedangkan pada saat perkelahian, bagian
ujung yang tajam menusuk ke atas digunakan dalam upaya untuk melukai lawan.
Ketika bersemangat, anoa pegunungan mengeluarkan suara “moo”.
Populasi dan Konservasi. Anoa semakin hari semakin langka dan sulit ditemukan. Bahkan
dalam beberapa tahun terakhir anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) yang menjadi maskot provinsi
Sulawesi Tenggara tidak pernah terlihat lagi. Karena itu sejak tahun 1986, IUCN
Redlist memasukkan kedua jenis anoa ini dalam status konservasi “endangered”
(Terancam Punah).
Beberapa daerah yang masih
terdapat satwa langka yang dilindungi ini antaranya adalah Cagar Alam Gunung
Lambusango, Taman Nasional Lore-Lindu dan TN Rawa Aopa Watumohai (beberapa
pihak menduga sudah punah).
Anoa
sebenarnya tida mempunyai musuh (predator) alami. Ancaman kepunahan satwa
endemik Sulawesi ini lebih disebabkan oleh deforestasi hutan (pembukaan lahan pertanian dan pemukiman) dan perburuan yang
dilakukan manusia untuk mengambil daging, kulit, dan tanduknya.
Pada tahun 2000, masyarakat
Kabupaten Buton dan Konawe Selatan dibantu pihak BKSDA pernah mencoba untuk
membuka penangkaran anoa. Tetapi usaha ini akhirnya gagal lantaran perilaku
anoa yang cenderung tertutup dan mudah merasa terganggu oleh kehadiran manusia
sehingga dari beberapa spesies yang ditangkarkan tidak satupun yang berhasil
dikawinkan.
Tahun
2010 ini, Taman Nasional Lore-Lindu akan mencoba melakukan penangkaran satwa langka yang
dilindungi ini. Semoga niat baik ini dapat terlaksana sehingga anoa datarn
rendah (Bubalus depressicornis)
dan Anoa Pegunungan (Bubalus
quarlesi) dapat lestari dan menjadi kebanggan seluruh bangsa
Indonesia seperti halnya Panser Anoa buatan Pindad.
Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Mamalia, Ordo:
Artiodactyla, Famili: Bovidae, Upafamili: Bovinae, Genus: Bubalus, Spesies: Bubalus quarlesi, Bubalus depressicornis. Nama binomial: Bubalus
quarlesi (Ouwens, 1910). Bubalus depressicornis (H. Smith, 1827).
2. Bajing
Bajing berbeda dengan Tupai. Bajing memiliki moncong
yang tidak terlalu panjang seperti halnya tupai, bagian muka (mulut dan hidung)
relatif agak rata atau datar.
Bajing Kelapa
Bajing ada yang hidup di
tanah juga ada yang hidup di pohon. Bahkan bajing dari subspesies Pteromyini
mampu terbang (melayang dari atas ke bawah), karena jenis ini mempunyai membran
(selaput tipis) diantara kaki depan dan belakang yang memungkinkan melayang
jauh diantara pepohonan.
Berbeda dengan Tupai yang memakan serangga, Bajingmerupakan binatang pengerat
yang memakan buah-buahan. Sering kali binatang ini dianggap sebagai hama
terutama pada tanaman kelapa dan perkebunan buah. Mungkin lantaran dianggap
binatang hama dan perusak ini kemudian muncul istilah ‘bajingan’.
Bajing terdiri atas 51
genus dan 278 spesies (jenis). Beberapa jenis Bajing yang terdapat di Indonesia
antara lain:
§
Ratufa bicolor (Jelarang); Hutan tropis
dan subtropis di Asia termasuk Indonesia.
§
Callosciurrus prevostii (Bajing Tiga Warna); Kalimantan
§
Callosciurrus nigrovittatus (Bajing Hitam); Thailand, Semenajung Malaya, Sumatra dan Jawa.
§
Callosciurrus notatus (Bajing Kelapa); terdapat di Semenanjung Malaya, Sumatra,
Kalimantan, Jawa, Bali dan Lombok, serta pulau-pulau di sekitarnya
§
Callosciurrus adamsi (Bajing Telinga Botol);
Endemik Kalimantan
§
Callosciurrus orestes (Bajing Kelabu); terdapat di Kalimantan
§
Sundasciurus hippurus (Bajing Ekor Kuda): Kalimantan
§
Sundasciurus lowii (Bajing Ekor Pendek):
Kalimantan
§
Sundasciurus tenuis (Bajing Bancirot);
Kalimantan
§
Sundasciurus jentinki (Bajing Jentink); Kalimantan
§
Sundasciurus brookei (Bajing Brooke); Kalimantan
§
Sundasciurus juvencus (Bajing Palawan); Jawa dan Bali
§
Glyphotes simus (Bajing Kerdil Perut
Merah); Endemik Kalimantan
§
Nannosciurus melanotis (Bajing Kerdil Telingan Hitam); Jawa dan Kalimantan
§
Rubrisciurus rubriventer (Bajing Besar Sulawesi); Endemik Sulawesi
§
Petinomys hageni (Bajing Terbang Kepala
Tengguli): Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan
§
Petinomys genibarbis (Bajing Terbang
Berjambang): Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan
§
Petinomys setosus (Bajing Terbang Dada
Putih): Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan
§
Petinomys vordermanni (Bajing Terbang Pipi Jingga); Semenanjung Malaya, Sumatera,
Jawa, dan Kalimantan
§
Petinomys sagitta (Bajing Terbang Jawa);
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan
§
Lariscus insignis (Bajing Tanah Bergaris
Tiga); Kalimantan
§
Dremomys everetii (Bajing Gunung); Kalimantan
§
Rhinosciurus laticaudatus (Bajing Tanah Moncong Runcing); Kalimantan
§
Exilisciurus exilis (Bajing Kerdil Dataran
Rendah); Kalimantan
§
Exilisciurus whiteheady (Bajing Kerdil Telinga Kuncung): Kalimantan
§
Rheithrosciurus macrotis (Bajing Tanah Ekor Tegak)
§
Petaurillus hosei (Bajing Terbang Hose)
§
Lomys horsfield (Bajing Terbang Ekor Merah)
§
Aeromys tephromelas (Bajing Terbang Hitam)
§
Hylopetes lepidus (Bajing Terbang Pipi
Kelabu)
§
Pteromyscus pulverulentus (Bajing Terbang Berbedak)
§
Petaurista petaurista (Bajing Terbang Rakasasa Merah)
Sebenarnya masih banyak jenis Bajing lainnya di Indonesia, namun
sebagai gambaran hanya ini yang saya sampaikan.
Klasifikasi Ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Sub Filum: Vertebrata;
Kelas: Mamalia; Ordo: Rodentia: Famili: Sciuridae
Bajing dan Tupai adalah hewan yang berbeda, meskipun banyak orang
yang menganggapnya sebagai binatang yang sama. Bajing dan Tupai memiliki
perbedaan, Tupai sepintas mirip dengan bajing, tetapi berbeda anatomi dan
perilakunya. Tupai mempunyai moncong sangat panjang (bagian muka, mulut dan
hidung) sedangkan bajing relatif agak rata pada bagian mulut dan hidungnya.
Bajing
merupakan mamalia pengerat (ordo Rodentia) dari suku (famili) Sciuridae yang
dalam bahasa Inggris disebut squirrel. Sedangkan Tupai berasal
dari famili Tupaiidae dan Ptilocercidae yang dalam bahasa Inggris disebut treeshrew. Secara ilmiah (ilmu biologi), Bajing berbeda dengan Tupai,
bahkan sangat jauh kekerabatannya.
Dalam
hal makanannya pun berbeda. Bajing merupakan binatang pengerat yang memakan
buah-buahan sedangkan Tupai merupakan binatang pemakan serangga.
Tupai
Tupai berbeda dengan Bajing. Tupai merupakan mamalia kecil dari bangsa
Scandentia yang sering kali dikelirukan dengan Bajing. Tupai banyak memangsa
serangga, sehingga dahulu dimasukkan ke dalam bangsa (ordo) Insectivora
(pemakan serangga). Ciri khas Tupai adalah mempunyai moncong sangat panjang
pada bagian muka yang terdapat mulut dan hidung.
Tupai Kekes
Tupai merupakan anggota dari bangsa Scandentia yang terdiri atas dua
suku (famili) yaitu Tupaiidae dan Ptilocercidae. Indonesia memiliki jenis Tupai
terbesar di dunia. Dari 20 spesies Tupai yang ada di dunia, 12 diantaranya
dipunyai oleh Indonesia. Spesies-spesies Tupai di Indonesia tersebut antara
lain:
§
Tupai ekor-kecil (Dendrogale
melanura). Di Kalimantan
§
Tupai mentawai (Tupaia
chrysogaster). Endemik Kepulauan Mentawai.
§
Tupai bergaris (Tupaia
dorsalis). Kalimantan
§
Tupai akar (Tupaia
glis). Kalimantan, Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya.
§
Tupai ramping (Tupaia
gracilis). Kalimantan, Karimata, Bangka dan Belitung.
§
Tupai kekes (Tupaia
javanica). Sumatra, Nias, Jawa dan Bali.
§
Tupai kecil (Tupaia
minor). Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
§
Tupai gunung (Tupaia
montana). Terbatas di pegunungan di Kalimantan bagian utara.
§
Tupai tercat (Tupaia
picta). Kalimantan.
§
Tupai indah (Tupaia
splendidula). Kalimantan bagian selatan, Karimata, Natuna, dan
Pulau Laut.
§
Tupai tanah (Tupaia
tana). Sumatra dan Kalimantan.
§
Tupai ekor-sikat (Ptilocercus
lowii). Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan dan pulau-pulau di
sekitarnya.
Klasifikasi Ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Sub Filum: Vertebrata;
Kelas: Mamalia; Ordo: Scandentia: Famili: Tupaiidae dan Ptilocercidae.
Banteng Liar atau biasa disebut dengan
Banteng saja merupakan hewan mamalia yang berkerabat dengan sapi. Banteng Jawa
(Bos javanicus)
merupakan satu dari 5 (lima) spesies Banteng yang ada di dunia (satu spesies
telah punah).
Banteng
(Bos javanicus)
terdiri atas tiga subspesies (sub-jenis) yakni Bos javanicus javanicus (terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia), Bos javanicus lowi (terdapat di Kalimantan)
dan Bos javanicus birmanicus (terdapat di Indocina). Banteng merupakan satwa yang dilindungi
di Indonesia. Popolasinya semakin mengalami penurunan. Oleh IUCN Redlist,
Banteng dikategorikan dalam status konservasi “Endangered” atau “Terancam Kepunahan”.
Selain
Banteng Jawa (Bos javanicus) sedikitnya terdapat 4 spesies Banteng lainnya
diseluruh dunia. Satu spesies telah dinyatakan punah. Kelima spesies Banteng
tersebut adalah:
§ Bos javanicus (Banteng)
§ Bos gaurus (Indian Bison)
yang biasa diadu dengan matador di Spanyol
§ Bos mutus (Wild Yark)
§ Bos souveli (Grey Ox)
§ Bos primigenius (Auroch)
yang telah punah
Ciri-ciri dan Perilaku. Banteng (Bos
javanicus) mempunyai tinggi sekitar 160 cm dengan panjang antara
190-225 cm. Meskipun beberapa Banteng mampu memiliki berat hingga satu ton
namun rata-rata Banteng jantan memiliki berat berkisar antara 600-800 kg.
Sedangkan Banteng betina memiliki berat dan ukuran yang lebih kecil. Banteng
memiliki sepasang tanduk dikepalanya yang panjangnya berkisar antara 60-75 cm.
Kawanan Banteng
Kulit kaki
bagian bawah, punuk, dan daerah sekitar mata dan mocong Banteng (Bos javanicus) berwarna putih.
Pada Banteng berkelamin jantan memiliki kulit berwarna biru kehitam-hitaman
atau coklat gelap dengan punuk di bagian pundak dan tanduk yang melenkung ke
atas. Sedangkan pada Banteng betina memiliki kulit berwarna coklat kemerahan
tanpa punuk dan tanduk yang mengarah ke dalam.
Banteng mampu hidup hingga
berumur 20 tahun dengan masa kedewasaan ketika berusia 2-3 tahun. Banteng
betina mempunyai lama kehamilan hingga 285 hari dan umumnya hanya melahirkan
satu anak saja dalam satu masa kehamilan. Bayi Banteng akan disapih ketika
berusia 6-9 bulan.
Banteng hidup secara
berkelompok dengan jumlah kawanan antara 2-40 individu dengan satu Banteng
jantan. Banteng-banteng jantan muda hidup sendirian atau dalam
kelompok-kelompok kecil bujang.
Banteng
merupakan binatang herbivora yang memakan rumput, dedaunan, dan buah-buahan.
Diperkirakan Banteng sangat menyukai jenis rerumputan dari spesies Ischaemum muticum, Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, dan Cynodon dactylon. Banteng umumnya aktif baik pada siang ataupun malam hari. Namun
pada wilayah-wilayah yang dekat dengan pemukiman manusia Banteng cenderung
untuk beradaptasi sebagai binatang nokturnal yang aktif pada malam hari.
Habitat dan Persebaran. Banteng mempunyai habitat di daerah berhutan lebat ataupun hutan
bersemak mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 2.100 mdpl. Persebarannya
mulai dari Kamboja, Indonesia (Jawa, Bali, dan Kalimantan), Laos, Malaysia,
Thailand, Myanmar, dan Vietnam. Di beberapa negara seperti Brunei Darussalam,
bangladesh, dan India, Banteng dinyatakan telah punah.
Populasi dan Konservasi. Populasi banteng diseluruh dunia diperkirakan tidak lebih dari
8.000 ekor. Bahkan dimungkinkan kurang dari 5.000 ekor. Dalam setiap wilayah
(habitat) populasinya jarang yang mampu mencapai lebih dari 500 ekor.
Peta populasi Banteng
Di Taman Nasional Ujung
Kulon (TNUK) diperkirakan terdapat 300-700 ekor Banteng (tahun 2003), 200 ekor
di Taman Nasional Meru Betiri (2000), 200 ekor di Taman Nasional Baluran
(2002), 80 ekor di Taman Nasional Alas Purwo (2002). Populasi-populasi yang
lebih kecil juga terdapat di beberapa tempat seperti di Cagar Alam
Cikepuh-Cibanteng, Pangandaran, Malang, dan Kediri.
Lantaran
populasinya yang semakin menurun, sejak tahun 1996, banteng dinyatakan dalam status konservasi “Endangered” (EN; Terancam Punah) oleh IUCN. Banteng sampai saat
ini belum terdaftar dalam CITES meskipun sejak 1996 telah diusulkan untuk
didaftar dalam CITES Apendiks I.
Penurunan populasi dan
kelangkaan Banteng lebih disebabkan oleh perburuan liar dan berkurangnya
habitat akibat pembukaan lahan untuk pemukiman dan pertanian. Penurunan
populasi juga disebabkan oleh persaingan dengan binatang lainnya dan pemangsaan
yang berlebih oleh Ajag (Cuon alpinus).
Data tentang populasi
Banteng yang dapat saya hadirkan hanyalah data yang dibuat hampir sepuluh tahun
yang silam. Harapan saya hanya satu, banteng-banteng ini masih mampu bertahan
hingga selamanya.
Klasifikasi Ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Mammalia; Ordo:
Artiodactyla; Famili: Bovidae; Genus: Bos; Spesies: Bos javanicus; Nama binomial Bos javanicus
ElangJawa (Spizaetus bartelsi)
Burung Elang Jawa (Spizaetus
bartelsi) merupakan salah satu spesies elang berukuran sedang yang endemik (spesies asli) di Pulau Jawa. Satwa ini dianggap identik dengan
lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda. Dan sejak 1992, burung ini
ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia. Pertama kali sayamenyaksikan penampakan
burung Elang Jawa secara langsung pada pertengahan tahun 2005 di sekitar Air Tiga Rasa di Gunung Muria Jawa
Tengah. Sayang, sampai sekarang saya belum berkesempatan untuk menyaksikannya
untuk yang kedua kali.
Secara fisik, Elang Jawa
memiliki jambul menonjol sebanyak 2-4 helai dengan panjang mencapai 12 cm,
karena itu Elang Jawa disebut juga Elang Kuncung. Ukuran tubuh dewasa (dari
ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 60-70 sentimeter, berbulu coklat gelap
pada punggung dan sayap. Bercoretan coklat gelap pada dada dan bergaris tebal
coklat gelap di perut. Ekornya coklat bergaris-garis hitam.
Ketika terbang, Elang Jawa hampir serupa dengan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus)
bentuk terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat
lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil. Bunyi nyaring tinggi,
berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku
kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak,
suaranya ini mirip dengan suara Elang Brontok meski perbedaannya cukup jelas
dalam nadanya.
Gambaran lainnya, sorot
mata dan penglihatannya sangat tajam, berparuh kokoh, kepakan sayapnya kuat,
berdaya jelajah tinggi, dan ketika berdiam diri sosoknya gagah dan berwibawa.
Kesan “jantan” itulah yang barangkali mengilhami 12 negara menampilkan sosok
burung dalam benderanya. Bersama 19 negara lain, Indonesia bahkan memakai
sosoknya sebagai lambang negara dengan burung mitologis garuda
Populasi burung Elang Jawa di alam bebas diperkirakan tinggal
600 ekor. Badan Konservasi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikannya
terancam punah. Konvensi Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna yang
Terancam Punah memasukkannya dalam Apendiks 1 yang berarti mengatur
perdagangannya ekstra ketat. Berdasarkan kriteria keterancaman terbaru dari IUCN, Elang Jawa dimasukan dalam kategori Endangered atau “Genting”
(Collar et al., 1994, Shannaz et al., 1995). Melalui Keputusan Presiden Nomor 4
Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, Pemerintah RI mengukuhkan Elang
Jawa sebagai wakil satwa langka dirgantara.
Elang
Jawa terbang
Habitat burung Elang Jawa
hanya terbatas di Pulau Jawa, terutama di wilayah-wilayah dengan hutan primer
dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan
pegunungan.
Bahkan saat ini, habitat burung ini semakin menyempit akibat
minimnya ekosistem hutan akibat perusakan oleh manusia, dampak pemanasan global, dan dampak pestisida. Di Jawa Barat, Elang Jawa hanya terdapat
di Gunung Pancar, Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango, Papandayan, Patuha dan
Gunung Halimun.
Di Jawa Tengah Elang Jawa terdapat di Gunung Slamet, Gunung
Ungaran, Gunung
Muria,
Gunung Lawu, dan Gunung Merapi, sedangkan di Jawa Timur terdapat di Merubetiri,
Baluran, Alas Purwo, Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, dan Wilis.
UPDATE
Nama latin untuk elang jawa kini resminya telah berganti dari Spizaetus bartelsi menjadiNisaetus bartelsi.
Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas:
Aves; Ordo: Falconiformes; Famili: Accipitridae; Genus: Nisaetus; Spesies: Nisaetus bartelsi. Nama latin: Nisaetus bartelsi. Sinonim: Spizaetus bartelsi.